Pages

Wednesday, April 2, 2014

Ketika "kalau" membayangi

Istilah "kalau".."jika saja" ..only if.. seringkali terdengar dan diucapkan dalam setiap momen dalam hidup kita. Suatu hari ketika saya mengadakan kuiz dimana mahasiswa saya yang tidak serius dan tidak belajar, terkaget-kaget dan terpusing-pusing dengan soal kuiz. Siapa suruh menganggap remeh kuiz dalam hati saya, padahal sudah diberi waktu untuk belajar, masih kurang baik apa coba. Kemudian saya tekankan bahwa nilai ini mungkin akan diambil sebagai porsi dalam UTS (yang mana belum tentu kan "mungkin"). Muncullah komentar-komentar dari si para mahasiswa yang sebenarnya belum bisa dibilang "maha", berkomentar "Kalau saya tau buat UTS mah saya juga belajar". Anak-anak jaman sekarang motivasi belajarnya apa sih?!

Kalau, kalau... kalau dipikir-pikir apakah bukannya sudah terlambat pemikiran seperti itu..

Kalau saya tau soalnya sesusah itu, saya belajar
Kalau saya tau soal bahan X yang keluar, pasti nilai saya bagus 
Kalau saya baca, mungkin nilai saya tidak sejelek itu 
begitupula berapa banyak kata kalau yang ada ketika kita memilih pekerjaan, memilih pasangan, memilih teman, mengambil keputusan dan sebagainya

Berapa banyak kata kalau ini menyesatkan hidup, ketika kita mengucapkan "kalau" pada intinya adalah sebuah kata penyesalan, sesuatu yang tidak bisa kembali lagi. Hingga akhirnya saya sampai pada satu simpulan, kondisi untuk peristiwa "kalau" pada dasarnya ada dua yaitu sesuatu yang sebenarnya bisa kita kontrol dan tidak bisa kita kontrol.

Seperti kasus kalau saya  tau..tentu saja sebenarnya si mahasiswa bisa mengontrol bukan? pada intinya kuiz pun pasti berkaitan dengan nilai toh..kenapa gak belajar? hingga akhirnya berujung pada kesimpulan, ketika kita meremehkan sesuatu dan tidak mengontrol peristiwa yang seharusnya dapat dikontrol, lalu mengapa kita tidak berusaha mengontrol sebelum hal yang membuat kita tidak senang dan menyesal terjadi?

"Kalau" lainnya adlah sesuatu yang tidak bisa kita kontrol. Betapa itu adalah kehendak garis nasib. Peristiwa-peristiwa yang dapat terkontrol, menimbulkan penyesalan. "Kalau mereka tau pesawat itu akan hilang, sekarang mereka pasti akan selamat", "kalau dia tidak pergi ke mall, pasti HP nya gak kena copet!". Pada akhirnya untuk persitwa "kalau" seperti ini kita hanya dapat pasrahdan menerima karena memang walaupun kita tahu peristiwa itu juga tetap akan terjadi. 

Pada akhirnya semua bergantung dari cara berpikir, ketika penyesalah sudah datang terlambat, untuk hal-hal yang masih bisa kita kontrol sebagai manusia, perbaiki dan berusaha lebih baik lagi. Semangat!

2 comments:

Anonymous said...

"There's no use crying over spilled milk."

Penyesalan datangnya selalu terlambat. Cara yang paling sering dipakai untuk meng-console diri dengan berpikir "seandainya saja (harapan)" memang tidak menyelesaikan masalah yang sudah terjadi, tetapi itulah manusia, umunya selalu berekspektasi jalan keluar bisa muncul kapan saja tanpa usaha.


Saya setuju sekali kalau ada banyak cara yang lebih baik untuk keluar dari masalah yang menimpa.

Nice post, Deph.

Semangat!

Deph said...

Terima kasih :)